Home » 2015 » January » 15 » Pendahuluan - Saadhanaa Panchakam
2:33 PM
Pendahuluan - Saadhanaa Panchakam

Pendahuluan - Saadhanaa Panchakam
Lima langkah menuju Kesadaran Rohani

Guru, aku rajin berdoa,

Kuikuti pula semua akidah agama.

Katakan, apalagi yang harus kulakukan

Untuk memperoleh tempat yang layak di surga ?

Semuanya itu tidak cukup, sahabat.

Belum cukup bila kau ingin masuk surga.

Belum cukup, Guru ?

Walau Perjalanan Sucipun telah kulakukan,

Bukan sekali dua kali, namun berulangkali ?

Sia-siakah segala apa yang kulakukan selama ini ?

Tidak sia-sia.

Namun bila surga yang kau inginkan,

semua itu tidak cukup.

Belum cukup.

Aku juga sering beramal saleh,

memberi sedekah kepada fakir miskin.

Tetap saja tidak cukup.

Belum cukup.

Lalu, apa yang harus kulakukan ?

Apa yang dapat memastikan surga bagiku ?

Kematian-"mu”.

Itu syarat mutlak.

"Mati”-lah terlebih dahulu,

Sehingga pintu surga terbuka bagimu.

Itulah satu-satunya jaminan,

Bila surga yang kau inginkan.

Selama "kau” masih hidup,

Pintu surga tetap rapat tertutup.

 

Masuk akal bila Barat mengkritik Timur karena menganggapnya nihilistik, fatalistik—sibuk dengan kematian dan tidak memikirkan kehidupan. Masuk akal, karena Barat memang memandang kematian sebabagi titik akhir kehidupan. Kematian, di mata Barat, adalah "kecelakaan” yang harus dihindari. Ia menggunakan seluruh energi dan daya pikirnya untuk menghindari kematian itu. 

Ia menjadi sibuk dan lupa bahwa barangkali ada definisi lain, ada penjelasan lain tentang kematian. Barangkali kematian bukanlah titik akhir. Karena itu masuk akal bila Barat mengkritik Timur, tapi sungguh tidak masuk akal bila Timur mengkritik Timur. Ini yang dilakukan oleh cendekiawan Timur Tengah terhadap pandangan-pandangan yang berkembang di Asia Tengah, Tenggara dan Timur jauh. 

Siddahrta meninggalkan istana dan keluarga untuk menemukan jati diri, untuk memperoleh pencerahan. Timur Tengah bingung, karena Nabi-Nabi di sana umumnya tidak melakukan hal itu. Mereka lupa bahwa di sana ada Ibrahim bin Adam yang meninggalkan segala yang dimilikinya demi pencariannya. Mereka lupa bahwa di sana pula ada Rabi’ah yang menyepi seumur hidup, tidak berkeluarga, karena telah menemukan cintanya kepada Allah. Dalam Cinta Illahi itu pula ia menemukan keluarga besar dunia.

"Tetapi Siddharta tidak mengurusi dunia … Seolah ia tidak berkepentingan dengan dunia kita,” kata seorang teman.

Tidak mengurusi dunia ? Tidak juga. Selama hampir 50 tahun ia berjalan kaki mengunjungi kota-kota besar dan dusun-dusun di India Utara dan India Tengah untuk meletakkan dasar bagi urusan dunia, yaitu shaanti dan ahimsaa, kedamaian dan tanpa kekerasan … Kedamaian yang harus diwujudkan dengan cara-cara yang sopan, santun dan tanpa kekerasan. Dasar ini pua yang kemudian diperkuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sejarah umat manusia menjadi saksi bahwa prinsip balas dendam, "gigi ganti gigi, mata ganti mata, dan nyawa ganti nyawa” tidak bisa dijadikan landasan bagi Dunia Modern yang mendambakan kedamaian. Kekerasan yang dihadapi dengan kekerasan hanya menimbulkan kekerasan baru. Bila nuklir dihadapi dengan nuklir, hancurlah dunia ini. Bila kehancuran bersama adalah definisi kita tentang kedamaian, silahkan membalas bom dengan bom.

Mereka yang membalas kekerasan dengan kekerasan, dan menuding Timur nihilistik dan fatalistik, sesungguhnya "percaya pada kematian”. Mereka tidak percaya pada kehidupan. Mereka pikir kekerasan yang berakhir dengan kematian dapat mengakhiri segala persoalan kehidupan.

Timur yang dituduh nihilistik dan fatalistik sesungguhnya "percaya pada kehidupan”. Ia tidak memandang kematian sebagai titik akhir. Ia peraya bahwa kehidupan tidak pernah berakhir. Bentuk-bentuk kehidupan memang beragam ; ada yang kita pahami, ada yang tidak. Karena itu menggunakan kekerasan untuk mematikan sesuatu, untuk membunuh seseorang, adalah kebodohan. Energi tidak pernah lenyap, ia hanya berubah bentuk. Kehidupanpun tidak pernah berakhir.

Bagi Timur, kematian adalah titik perubahan, bukan titik akhir :

Lalu, apa yang harus kulakukan ?

Apa yang dapat memastikan surga bagiku ?

Kematian-"mu”.

Itu syarat mutlak.

"Mati”-lah terlebih dahulu,

Sehingga pintu surga terbuka bagimu.

Itulah satu-satunya jaminan,

Bila surga yang kau inginkan.

Selama "kau” masih hidup,

Pintu surga tetap rapat tertutup.

Bagi Timur, surga juga bukanlah suatu tempat di lapisan langit keberapa di atas sana. Gereja Katolik yang didirikan Barat oleh orang-orang yang sangat terpengaruh oleh pandangan-pandangan Barat dan hingga hari inipun selalu diketuai oleh seorang Paus kelahiran Barat sekarang baru memahami hal ini. Surga bukanlah nama tempat, tapi sebutan bagi suatu keadaan.

Keinginan kita untuk "masuk surga” membuktikan bahwa kita tidak puas dengan keadaan kita sekarang. Barangkali, kita menganggap diri kita berada dalam neraka. Kita menginginkan perubahan. Baik, bila perubahan mendasar seperti itu yang kita hendaki, kita inginkan, mari kita "mati” terlebih dahulu. Lepaskan segala yang lama. Bebaskan diri dari segala sesuatu yang mengikat diri kita dengan masa lalu. Maka saat itu pula "terjadilah” perubahan yang kita inginkan, kita dambakan, kita hendaki.

Bila kita menginginkan sesuatu yang baru, "yang lama” sudah harus dilepaskan. Tidak bisa tidak. Pelepasan inilah kematian.

Siapkah anda untuk melepaskan yang lama ? Siapkah anda untuk "mati” ? Bila jawabannya "ya”, kata-kata akhir Shankara, Sang Mahaguru, yang dirangkum dalam Sadhana Panchakamini memang dimaksudkan bagi anda. Bila tidak, ketahuilah bahwa anda telah salah beli buku ini. Namun demikian, kerugian anda hanyalah sebatas uang yang telah anda keluarkan untuk membeli buku ini. Semoga anda dapat menjualnya kembali kepada orang lain yang barangkali tertarik. Semoga kerugian anda tidak terlalu besar. Terimalah simpati saya. Dan bila anda mau mendengarkan nasihat saya … janganlah membaca buku ini agar anda tidak semakin rugi, rugi waktu dan energi.

* * *

Peringatan yang saya berikan rasanya sudah cukup jelas. Bila anda masih membaca kalimat ini, seterusnya bacalah atas resiko sendiri. Bacalah lima ayat berikut … dan kisah-kisah selingan dari Chandogya, Upanishad, yang tidak kurang berbahaya bagi anda yang enggan untuk membuka diri, membuka hati, membuka jiwa, dan menerima sesuatu yang baru !

"Dalam usianya yang masih sangat muda, hanya 32 tahun, pemuda ajaib ini telah menyelesaikan tugasnya.

Para pemikir lain barangkali baru memulai karier mereka di usia itu.

Dalam diri Shankaracharya, kegeniusan Bangsa Hindia bangkit kembali !”

Margaret Noble
Bangsawan Inggris/Penulis
Dan murid Swami Vivekananda

Category: 5 Steps to Awareness | Views: 690 | Added by: edys | Tags: pencerahan | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
ComForm">
avatar