Home » 2014 » April » 29 » Kerajaan Kutai
11:42 AM
Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai dikenal sebagai kerajaan Melayu tertua di nusantara yang terletak di wilayah Kalimantan Timur. Kerajaan bercorak Hindu-Buddha ini juga disebut dengan nama Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman yang merujuk pada nama raja terbesar Kerajaan Kutai Martapura, yaitu Maharaja Mulawarman.

1. Sejarah

Berdasarkan prasasti yang ditemukan, Kerajaan Kutai Martapura disebut-sebut sebagai kerajaan yang tertua di nusantara. Bukti-bukti historis, baik yang berupa prasasti maupun catatan sejarah, menjadi petunjuk yang tegas bahwa di tanah antah-berantah di perdalaman Borneo yang bernama Kutai pernah berdiri sebuah peradaban besar yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Kutai Martapura. Kerajaan ini telah menjalankan pemerintahannya pada abad ke-4 atau awal abad ke-5 Masehi.

a. Asal-usul Penamaan Kutai

Kepastian mengenai kapan tepatnya nama Kutai resmi digunakan sebagai nama suatu tempat atau nama kerajaan hingga kini belum dapat diketahui secara pasti. Meskipun demikian, terdapat sejumlah pendapat yang mengemukakan tentang asal-usul penamaan Kutai tersebut. Salah satu pernyataan itu muncul dari C.A. Mees, ahli sejarah asal Belanda, di mana dalam disertasinya yang mengangkat judul “De Kroniek van Kutai” (ditulis pada tahun 1935), Mees meyakini bahwa nama Kutai berasal dari kata “koti” yang berarti “ujung”. Keyakinan Mees ini cukup beralasan mengingat posisi Kutai yang terletak di ujung timur pulau Kalimantan (Mees dalam Anwar Soetoen, et.al., 1975:21).

Muncul juga pendapat yang menyatakan bahwa nama Kutai berasal dari bahasa Cina, yakni “kho-thay”. Kata “kho” dapat dimaknai sebagai “kerajaan”, sedangkan “thay” berarti “besar”. Jadi, kata “kho-tay”, yang lantas diucapkan dengan pelafalan “Kutai”, memiliki arti “kerajaan yang besar”. Keyakinan asal penamaan Kutai berasal dari kosakata Cina seperti yang disebut di atas juga dianggap cukup masuk akal. Hal tersebut berdasarkan catatan dan bukti sejarah yang menunjukkan bahwa pada zaman itu orang-orang yang menempati wilayah Kutai sudah menjalin hubungan dagang dan berinteraksi dengan para pedagang dari mancanegara, termasuk para saudagar yang datang dari negeri Cina (Kementerian Penerangan, 1953:412).

Asal-usul penamaan Kutai juga disinggung dalam Negarakrtagama, kitab legendaris yang digubah pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, yakni pada tahun 1365 M oleh Mpu Prapanca. DalamNegarakrtagama, nama Kutai disebutkan dengan istilah “Tunyung Kute” atau dapat juga ditafsirkan sebagai “Tunjung Kutai”. Mengenai penafsiran ini, T.B.C. Brandes, sejarawan asal Belanda, menyimpulkan bahwa kata “Tunyung” atau “Tunjung” disebut terpisah dengan kata “Kute” atau “Kutai” (Soetoen, et.al., 1975:22).

Pemikiran Brandes ini didasarkan pada kondisi yang sebenarnya bahwa di perdalaman Sungai Mahakam terdapat suatu daerah yang dikenal dengan nama Tunjung, sebuah dataran tinggi yang didiami oleh orang-orang Suku Dayak Tunjung. Pada akhirnya nanti, peran orang-orang dari Suku Dayak Tunjung ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi Kerajaan Kutai Martapura, salah satu di antaranya adalah munculnya seorang tokoh Dayak Tunjung bernama Puncan Karna yang kelak mengabdikan dirinya untuk Kerajaan Kutai (Soetoen, et.al., 1975:22).

Selain sejumlah pendapat dari para peneliti dari luar negeri seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat juga beberapa sumber lokal yang menyebutkan tentang asal-usul penamaan Kutai. Silsilah Raja-raja Kutai, misalnya, mengupas tentang asal-usul nama Kutai dalam sepenggal cerita. Berikut ini adalah sedikit nukilannya:

.... Setelah sudah maka Aji Batara Agung Dewa Sakti pun berkumpullah laki-isteri; dengan selamat sempurnanya kira-kira sedang lamanya Aji itu dua laki-isteri, maka mengidamlah ia hendak baluran lulu sumpitan, maka Aji itu pun pergilah menyumpit lulu. Maka tiada mendapat lulu yang lain, hanya tupai saja seekor (yang sedang) makan buah petai, lalu disumpitnya. Maka kenalah tupai itu (dan) gugur ke tepian MAMPI. Maka dikelililingilah benua itu, maka bunyi Aji itu: “Terlalu baik negeri ini. Baiklah, aku pindah ke negeri ini (dan) berbuat negeri di sini”. Maka, tanah tempat Aji itu berdiri menyumpit tupai itulah tanah yang bernama tanah KUTAI karena tanah itu tinggi sendirinya .... (C. Hoykaas1952:214).

Sumber lokal lainnya yang menyebut tentang asal-usul penamaan Kutai adalah tradisi lisan yang beredar di masyarakat setempat. Sebagian kalangan warga Kutai cenderung mempercayai bahwa nama daerah mereka berasal dari istilah “mampi” atau “kumpai”. Kedua istilah ini dapat ditafsirkan sebagai nama suatu jenis tumbuh-tumbuhan yang mempunyai habitat di tepi sungai atau pantai. Keyakinan tentang asal-mula penamaan Kutai ini juga menyertakan alasan yang cukup mendasar, yaitu bahwa meski berada di perdalaman, namun pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Martapura berlokasi tidak jauh dari sungai dan laut. Wilayah Kerajaan Kutai Martapura memang sangat dekat dengan Sungai Mahakam dan berbatasan dengan Selat Makassar. Istilah “mampi” sendiri juga telah disebutkan dalam Silsilah Raja-raja Kutai pada isi kutipan seperti yang telah disebutkan di atas (Soetoen, et.al., 1975:22).

Meskipun berbeda-beda dalam penyebutan dan pemaknaannya, semua pendapat yang menyakini tentang asal-usul penamaan Kutai di atas merujuk pada pemahaman bersama, atau lebih tepatnya mengerucut menjadi tiga makna. Ketiga pemaknaan tersebut yakni bahwa Kutai dapat diartikan sebagai: (1) nama sebuah kerajaan, (2) nama suatu suku bangsa, dan (3) nama suatu daerah atau wilayah.

Nama tambahan “Kartanegara” yang digunakan sejak Kerajaan Kutai Martapura dikalahkan oleh Kerajaan Kutai Kartanegara pada abad ke-17 M, diyakini berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “krta” dan “nagara”. Kata “krta” mempunyai makna “peraturan”, sedangkan “nagara” dapat diartikan sebagai “negara”, “kerajaan”, “pemerintahan”, atau “ibukota”. Dengan demikian, Kutai Kartanegara dapat diartikan sebagai: “negara, kerajaan, atau pemerintahan yang sudah teratur”.

b. Petunjuk Keberadaan Kerajaan Kutai Martapura

Kerajaan Kutai Martapura adalah kerajaan bercorak Hindu yang menempati pusat pemerintahannya di hulu Sungai Mahakam, tepatnya di sebuah tempat bernama Muara Kaman (Prasetyo Eko Prihananto,Kompas, 3 November 2004). Sebelum diketahui dan diyakini sebagai kerajaan yang paling tua dalam sejarah nusantara, sangat sulit untuk melacak sumber-sumber yang menjelaskan keberadaan Kerajaan Kutai Martapura. Hal itu disebabkan karena ketersediaan data-data tentang peradaban di Borneo pada masa purba masih sangat langka.

Kelangkaan data itu bahkan dijumpai juga pada catatan-catatan yang ditulis oleh para pengelana dari Cina. Kaum musafir dari Cina biasanya sangat rajin menuliskan hal-hal yang mereka temui dan ketahui yang berkaitan dengan suatu daerah asing yang mereka singgahi selama perjalanan. Menurut W.P. Groeneveldt seperti yang dikutip dari buku Sejarah Nasional Indonesia II karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993), luputnya ulasan tentang pulau Kalimantan oleh para periwayat dari Cina ini cukup menarik. Hal ini disebabkan karena catatan-catatan dari Cina yang berhubungan dengan Jawa dan Sumatra sudah ada sejak abad ke-5 dan ke-6 M, tepatnya pada masa pemerintahan Dinasti Liang yakni sekitar tahun 502-506 M (Groeneveldt dalam Poesponegoro & Notosusanto, 1993:29).

Sementara itu, Tom Harrison dan Stanley J.O. Connor (1970) memiliki dasar pendapat yang berbeda. Tidak adanya perhatian dari para penulis Cina terhadap sejarah awal peradaban di Borneo boleh jadi dikarenakan karena pulau ini tidak terletak pada jalan utama perdagangan yang dilalui oleh para pedagang yang datang dari Cina (Harrison & Connor, 1970:15). Ternyata memang bukan pengaruh dari Cina yang pertama kali ditemukan di wilayah Borneo bagian timur, melainkan sisa-sisa peradaban yang mirip dengan kebudayaan dari India. Di Kota Bangun yang kelak dikenal sebagai wilayah Kutai, ditemukan arca-arca yang dibuat dari perunggu. Penelitian yang dilakukan oleh A.J. Bernet Kempers (1959) menyimpulkan bahwa berdasarkan ciri-ciri ikonografinya, arca-arca yang ditemukan di Kutai tersebut berasal dari langgam seni Gandara, India. Besar kemungkinan, arca-arca itu dibuat di India dan kemudian dibawa ke wilayah nusantara (termasuk Kutai) sebagai barang dagangan (Kempers, 1959:31).

Penemuan arca-arca yang diduga berasal dari negeri India tersebut ditegaskan juga oleh Mees (1935). Hasil penelitian Mees menyebutkan bahwa di Kota Bangun telah ditemukan patung Buddha yang terbuat dari perunggu. Hasil riset Mees bahkan menambahkan data yang lebih banyak lagi dengan menyatakan bahwa di dalam Gua Kong Beng yang terletak di Sungai Pantun, anak cabang Sungai Kedang Rantau dengan Sungai Mahakam sebagai sungai induknya, ditemukan sekurang-kurangnya 12 arca yang berupa arca Ciwa (Syiwa), Wisnu, dan Ganeca (Ganesha) (Mees dalam Soetoen, et.al., 1975:43).

Penemuan yang paling diandalkan sebagai sumber yang menyatakan bahwa Kerajaan Kutai Martapura adalah kerajaan tertua di nusantara adalah yupa atau tiang/tugu batu. Jumlah yupa yang ditemukan di Muara Kaman adalah sebanyak 7 buah tiang batu. Menurut hasil kajian yang dilakukan oleh J.G. de Casparis (1949), yupa-yupa di kawasan Muara Kaman yang diduga kuat sebagai peninggalan peradaban Kerajaan Kutai Martapura ditemukan berturut pada tahun 1879 dan 1940 (Casparis dalam J. Ph. Vogel, 1974:370).

Dalam yupa-yupa tersebut, ditemukan juga catatan prasasti, antara lain berupa tulisan dengan aksara Pallawa yang ditulis dalam bahasa Sanskerta. Huruf yang dipahatkan pada yupa-yupa itu diduga berasal dari akhir abad ke-4 atau awal abad ke-5 M. Semua tugu batu tersebut dikeluarkan atas titah seorang pemimpin yang diketahui bernama Maharaja Mulawarman Naladewa. Menurut Poesponegoro & Notosusanto (1993), Mulawarman diduga kuat adalah orang Indonesia karena nama kakeknya, yakni Kundunga (ada juga yang menyebut Kudungga atau Kundungga) adalah nama asli nusantara (Poesponegoro & Notosusanto, 1993:31). Kundunga inilah yang diyakini cikal-bakal pemimpin pertama Kerajaan Kutai Martapura, sementara Mulawarman adalah penerus Aswawarman (anak Kundunga) yang membawa Kerajaan Kutai Martapura pada masa-masa puncak kejayaannya.

R.M. Ng. Poerbatjaraka (1952) menafsirkan rangkaian huruf Pallawa berbahasa Sanskerta yang tercatat pada yupa tentang silsilah raja-raja yang pernah berkuasa pada masa-masa awal Kerajaan Kutai Martapura dalam terjemahan bebas sebagai berikut:

Sang Maharaja Kundunga yang teramat mulia mempunyai putra yang masyhur, Sang Aswawarman namanya, yang seperti Sang Ansuman (Dewa Matahari) yang menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman mempunyai tiga orang putra seperti tiga api yang suci. Yang terkemuka dari ketiga putra tersebut adalah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan upacara selamatan yang menggunakan emas yang sangat banyak. Sebagai peringatan upacara itu didirikan tugu batu oleh para brahmana (Poerbatjaraka, 1952:9).

Dari penggalan prasasti di atas dapat dirumuskan beberapa kesimpulan. Pertama, silsilah keluarga Kerajaan Kutai Martapura, yakni Kundunga sebagai raja Kutai yang pertama. Kundunga memiliki anak bernama Aswawarman yang kemudian meneruskan kepemimpinan di Kerajaan Kutai. Aswawarman mempunya tiga orang anak laki-laki. Dari ketiga anak Aswawarman ini, terdapat seorang anak yang paling terkemuka, yakni yang bernama Mulawarman sebagai putra mahkota. Mulawarman pada akhirnya memimpin dan membawa Kerajaan Kutai Martapura pada masa keemasannya.

Kedua, masa keemasan Kerajaan Kutai Martapura di bawah pemerintahan Mulawarman dapat dilihat dari pencitraan sosok sang raja yang digambarkan sebagai pemimpin yang “berperadaban baik, kuat, dan kuasa”. Selain itu, Kerajaan Kutai Martapura pada masa kepemimpinan Mulawarman dikisahkan makmur dan sejahtera. Sebagai bukti adalah adanya catatan yang menceritakan bahwa upacara selamatan yang diadakan oleh Mulawarman telah menggunakan emas dalam jumlah yang besar.

Ketiga, peradaban Kerajaan Kutai Martapura pada era pemerintahan Mulawarman sudah cukup maju. Hal ini dibuktikan dengan penggambaran bahwa Kerajaan Kutai sudah melaksanakan ritual keagamaan dengan segala perangkatnya, termasuk pendirian tugu batu. Selain itu, keberadaan kaum brahmana juga menunjukkan bahwa struktur pemerintahan dan sistem sosial yang berlaku di lingkungan Kerajaan Kutai Martapura pada rezim Mulawarman sudah relatif teratur dan terorganisir dengan cukup baik.

Prasasti berikutnya yang termaktub pada yupa yang lain semakin menegaskan ketiga kesimpulan yang dirumuskan dari prasasti yang telah dibahas di atas. Berikut terjemahan bebas dari isi prasasti pendukung tersebut:

Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah sebanyak 20.000 ekor sapi kepada para brahmana yang seperti api, bertempat di dalam tanah yang sangat suci yang bernama Waprakeswara. Sedekah tersebut merupakan suatu peringatan akan kebaikan budi sang raja itu. Tugu ini telah didirikan oleh para brahmana yang datang ke tempat ini (Poerbatjaraka, 1952:11).

Kebesaran Maharaja Mulawarman ditegaskan kembali dalam prasasti di atas dengan memberi sedekah sebanyak 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Di sisi lain, kaum brahmana pun menyematkan rasa hormat yang sangat besar kepada Maharaja Mulawarman dengan membangun tugu batu sebagai monumen peringatan akan kebaikan hati sang raja.

Masih terdapat sejumlah penemuan lainnya yang setidaknya dapat memberi sedikit informasi mengenai peradaban kerajaan yang pernah eksis di wilayah Kutai. Salah satu penemuan itu adalah ditemukannya sebuah kalung Ciwa (Syiwa) di sekitar Danau Lipan yang lokasinya termasuk di kawasan Muara Kaman. Bahkan, berdasarkan hasil penemuan terbaru yang dilakukan oleh Tim Ekspedisi Kalimantanthrope dalam penyelidikannya yang berakhir pada tanggal 20 Juni 2001, ditemukan lukisan pada dinding-dinding goa di kawasan Gunung Marang, sekitar 400 kilometer di sebelah utara Balikpapan, beserta pecahan-pecahan perkakas tembikar dan sejumlah makam (Prihananto, Kompas, 3 November 2004).

Dalam artikel di harian umum Kompas yang ditulis oleh Prihananto (2004) dengan judul “Sejarah kita berawal dari Kutai”, disebutkan bahwa dari penggalian di lokasi situs sejarah Kerajaan Kutai di Muara Kaman juga ditemukan berbagai artefak, seperti sisa-sisa atau reruntuhan candi berupa peripih, manik-manik, gerabah, patung perunggu, dan keramik yang sangat indah. Benda-benda cagar budaya tersebut diduga berasal dari masa prasejarah dan diperkirakan telah berusia lebih dari 10.000 tahun (Prihananto, Kompas, 3 November 2004).

Semua penemuan di atas membuktikan bahwa telah ada peradaban yang terbangun di Kalimantan pada masa lampau. Selain itu, ditengarai juga bahwa Kerajaan Kutai Martapura telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa-bangsa asing. Jalinan niaga tersebut kemudian berkembang menjadi hubungan agama dan budaya karena dalam perjalanan dagang yang dilakukan para saudagar asing tersebut, terutama yang berasal dari India, turut juga para penyebar agama, dalam hal ini penyebar agama Hindu dan Buddha, yang bermaksud melakukan syiar ajaran agamanya. Penyebaran ajaran agama Hindu dan Buddha semakin kuat karena pada perkembangannya kemudian banyak penduduk dari nusantara, termasuk Kalimantan, yang pergi ke daerah asal para misionaris tersebut untuk semakin memperdalam ajaran agama yang dibawa mereka. Menurut N.J. Krom (1931), hubungan yang seperti ini berlangsung sudah cukup lama (Krom, 1931:75).

Hubungan timbal-balik di sektor agama dan budaya tersebut menyebabkan warga lokal nusantara kemudian mengenal, menjalankan, serta menerapkan ajaran agama dan pengaruh budaya yang mereka peroleh dari luar, termasuk dalam hal pelaksanaan upacara-upacara keagamaan dan ritual-ritual yang bercorak Hindu dan Buddha lainnya. Fakta inilah yang kemudian terlihat dalam penemuan-penemuan penting berikutnya yang semakin menegaskan eksistensi peradaban Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur.

c. Peradaban Kutai Martapura dan Keruntuhannya

Keyakinan bahwa Kundunga adalah orang Indonesia asli didasarkan pada penyelidikan bahwa Kundunga jelas bukan nama yang berbau India, meski nama-nama keturunannya, yaitu Aswawarman dan Mulawarman, mengandung unsur nama India. Dalam hal ini, Poesponegoro dan Notosusanto (1993) menyatakan bahwa terdapat nama Bugis yang mirip dengan penyebutan Kundunga, yaitu Kandungga (Poesponegoro & Notosusanto, 1993:31). Kemiripan nama ini ditengarai bukan hanya kebetulan belaka mengingat di Sulawesi Selatan juga ditemukan beberapa prasasti yang hampir sama dengan apa yang ditemukan di Kutai. Hasil penelitian F.D.K. Bosch (1933) menyebutkan bahwa ditemukan arca-arca Buddha yang dibuat dari bahan perungggu di Sempaga, Sulawesi Selatan. Menurut Bosch, arca-arca tersebut berasal dari Amarawati, India (Bosch dalam Poesponegoro & Notosusanto, 1993:30).

Poesponegoro dan Notosusanto (1993) selanjutnya menyimpulkan bahwa kemungkinan besar, baik Kundunga yang menamakan anaknya sebagai Aswawarman maupun Aswawarman sendiri yang mempunyai anak bernama Mulawarman, berkeinginan menyamakan derajat mereka atau keturunan mereka agar sejajar dengan kaum kstaria yang ada di India (Poesponegoro & Notosusanto, 1993:31). Kemungkinan ini didasarkan pada kenyataan yang menyebutkan bahwa kata “warman” berasal dari bahasa Sanskerta yang biasanya digunakan untuk akhiran nama-nama orang-orang di India bagian selatan (www.wahana-budaya-indonesia.com). Dalam tradisi Hindu yang berasal dari India, sistem sosial masyarakat terbagi atas kelas-kelas yang dikenal dengan tingkatan kasta di mana kalangan ksatria atau bangsawan kerajaan termasuk dalam kasta yang terhormat.

Masa Kerajaan Kutai Martapura yang diidentikkan dengan Kerajaan Mulawarman sebenarnya adalah suatu periode yang masih gelap untuk dibahas secara ilmiah. Dari data yang tersedia hingga saat ini, tidak banyak yang dapat diketahui tentang kehidupan di lingkungan Kerajaan Kutai Martapura pada masa pemerintahan Maharaja Mulawarman dan raja-raja penerusnya. Hal ini disebabkan karena usaha-usaha penyingkapan tabir purbakala di daerah ini masih belum dijalankan sebagaimana mestinya (Soetoen, et.al., 1975:46).

Meskipun demikian, berdasarkan sejumlah peninggalan sejarah yang ditemukan, setidaknya dapat diketahui data tentang Kerajaan Kutai Martapura, terutama pada masa pemerintahan Maharaja Mulawarman. Selain berdasarkan penafsiran yang tersurat pada yupa dan beberapa penemuan purbakala lainnyaternyata masih ada sumber lain yang dapat digunakan untuk menguak sedikit riwayat tentang Kerajaan Kutai Martapura. Sumber lain tersebut yakni berupa cerita rakyat yang dikisahkan secara turun-temurun dalam lingkungan masyarakat lokal yang mendiami wilayah Kutai.

Kendati kadar kebenaran cerita rakyat yang tidak jarang kental dengan unsur mistis masih menjadi perdebatan di kalangan ahli-ahli sejarah, namun dalam konteks riwayat Kerajaan Kutai Martapura ini, cerita rakyat justru menghasilkan sejumlah informasi yang cukup penting. Dari cerita-cerita rakyat yang beredar dalam tradisi lisan rakyat Kutai, diperoleh silsilah nama raja-raja Kutai setelah era Maharaja Mulawarman (Soetoen, et.al., 1975:47). Sedangkan raja-raja Kerajaan Kutai Martapura yang bertahta sebelum Maharaja Mulawarman berkuasa sudah dapat diketahui berdasarkan keterangan yang diperoleh dari yupa, yakni Maharaja Kundunga dan Maharaja Aswawarman yang tidak lain adalah kakek dan ayahanda dari Maharaja Mulawarman.

Dari tutur cerita rakyat yang beredar di kalangan tradisional masyarakat Kutai  juga didapatkan keterangan mengenai keberadaan bekas kompleks istana Kerajaan Kutai Martapura. Penduduk setempat menyatakan bahwa di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Berubus, terletak kawasan Muara Kaman, ada sebuah bukit yang diyakini sebagai bekas istana dan benteng Kerajaan Kutai Martapura. Istana dan benteng kerajaan tersebut dipercaya telah hilang karena tenggelam. Hingga sekarang, masyarakat tradisional di sana masih menganggap bahwa bukit tersebut adalah tempat yang diliputi kabut rahasia dan terkenal angker (Mees dalam Soetoen, et.al., 1975:43).

Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan oleh sejumlah peneliti, diperoleh keterangan bahwa periode kehidupan Kerajaan Kutai Martapura berlangsung cukup lama, yakni sejak abad ke-4 atau ke-5 M (dari data yang diperoleh dari prasasti pada yupa) sampai dengan awal abad ke-17 (berdasarkan penyelidikan yang di antaranya ditafsirkan dari cerita rakyat Kutai). Dengan demikian, Kerajaan Kutai Martapura menjalani peradabannya selama kurang lebih 12 abad.

Selama kurun waktu yang relatif panjang tersebut, Kerajaan Kutai Martapura telah dipimpin oleh 25 orang raja (Mees dalam Soetoen, et.al., 1975:47). Jenjang kepemimpinan Kerajaan Kutai Martapura yang berjumlah 25 raja itu dihitung sejak masa pemerintahan Maharaja Mulawarman, atau dengan kata lain belum termasuk dua orang yang juga diduga pernah memimpin pada masa sebelumnya, yakni Kundunga dan Aswawarman.

Benih-benih keruntuhan Kerajaan Kutai Martapura mulai terlihat pada awal abad ke-14 M. Pada sekitar tahun 1300-an, muncul sebuah kerajaan baru di dekat lokasi berdirinya Kerajaan Kutai Martapura. Kerajaan baru itu bernama Kerajaan Kutai Kartanegara (Kertanegara) dengan pusat pemerintahannya di Tepian Batu (Kutai Lama). Kutai Lama adalah daerah yang letaknya berdekatan dengan Kota Samarinda sekarang (B. Setiawan, 1990:252). Pendiri Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti yang berkuasa sebagai raja pada kurun tahun 1300-1325 M (http://kesultanan.kutaikartanegara.com).

Kehadiran Kerajaan Kutai Kartanegara di daerah yang berdekatan mengusik ketenangan Kerajaan Kutai Martapura yang telah terlebih dulu menguasai wilayah tersebut. Akibatnya, timbul gesekan di antara kedua kerajaan itu dan ketegangan tersebut berlangsung beberapa abad lamanya. Benturan dua peradaban itu mencapai puncak dengan pecahnya pertempuran besar pada sekitar tahun 1605 M (Mees dalam Soetoen, et.al., 1975:51). Kerajaan Kutai Martapura yang pada waktu itu dipimpin oleh Maharaja Darma Setia mengalami kekalahan dari Kerajaan Kutai Kartanegara.

Sebagai pemenang, Kerajaan Kutai Kartanegara di bawah pimpinan Aji Kiji Pati Jaya Perana kemudian mengambil-alih wilayah yang sebelumnya menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Kutai Martapura. Kemudian, Aji Kiji Pati Jaya Perana menyatukan dua wilayah itu dan melahirkan Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura (http://kesultanan.kutaikartanegara.com). Penyertaan embel-embel Martadipura (Martapura) tidak lain adalah sebagai bentuk klaim kemenangan Kerajaan Kutai Kartanegara atas Kerajaan Kutai Martapura.

Selanjutnya, Raja Aji Kiji Pati Jaya Perana bertahta sebagai raja Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan menyandang gelar kehormatan sebagai Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa (Soetoen, et.al., 1975:51). Dengan demikian, berakhir sudah riwayat peradaban Kerajaan Kutai Martapura yang kemudian digantikan oleh Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Pemerintahan adat Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura sendiri masih bertahan hingga saat ini.

2. Silsilah

Siapa sejatinya yang menjadi raja pertama atau yang mendirikan Kerajaan Kutai Martapura masih menjadi sasaran penyelidikan hingga saat ini. Sebagian kalangan berpendapat bahwa Kundunga, sebagai generasi pertama raja-raja Kerajaan Kutai Martapura, bukan seorang raja melainkan hanya pemimpin kelompok atau kepala keluarga. Besar kemungkinan, Aswawarman, anak Kundunga, adalah orang yang memulai peradaban Kutai Martapura sebagai sebuah kerajaan yang sudah mempunyai sistem pemerintahan dan kebudayaan, termasuk ditemukannya tulisan (www.wacananusantara.org). Aswawarman juga diyakini sebagai orang yang membentuk wangsa atau dinasti Kerajaan Kutai Martapura sehingga ia diberi gelar sebagai Wangsakerta (www.wahana-budaya-indonesia.com).

Berikut ini adalah daftar para penguasa Kerajaan Kutai Martapura yang diperoleh dari beberapa sumber (Soetoen, et.al., 1975:40-41; www.wahana-budaya-indonesia.com). Adapun mengenai periode pemerintahan masing-masing raja belum diketahui secara pasti.

  1. Maharaja Kundunga (Dewawarman)
  2. Maharaja Asmawarman
  3. Maharaja Mulawarman Naladewa
  4. Maharaja Sriwarman
  5. Maharaja Marawijayawarman
  6. Maharaja Gajayanawarman
  7. Maharaja Tunggawarman
  8. Maharaja Jayanagawarman
  9. Maharaja Nalasingawarman
  10. Maharaja Nala Perana Tungga
  11. Maharaja Gadonggawarman Dewa
  12. Maharaja Indera Warmana Dewa
  13. Maharaja Sangga Wirama Dewa
  14. Maharaja Singa Wargala Warmana Dewa
  15. Maharaja Canderawarman
  16. Maharaja Mula Tungga Dewa
  17. Maharaja Nala Indera Dewa
  18. Maharaja Indera Mulia Warmana Dewa
  19. Maharaja Sri Langka Dewa
  20. Maharaja Guna Perana Tungga Dewa
  21. Maharaja Wijayawarman
  22. Maharaja Indera Mulia
  23. Maharaja Sri Aji Dewa
  24. Maharaja Mulia Putera
  25. Maharaja Nala Pendita
  26. Maharaja Indra Paruta Dewa
  27. Maharaja Dharma Setia

Selain raja-raja yang telah disebutkan di atas, telah ditemukan data termutakhir yang menyebut bahwa sekarang ini masih terdapat keturunan Maharaja Mulawarman. Setelah dilakukan penelusuran mengenai silsilah keluarga kerajaan, muncul wacana bahwa masih ada seseorang yang berhak menjadi pewaris tahta Kerajaan Kutai Martapura, yakni Maharaja Srinala Praditha Alpiansyahrechza Fachlevie Wangsawarman (Bongkar, 11 September 2009).

C. Sistem Pemerintahan

Kundunga sebagai cikal-bakal yang kelak menurunkan raja-raja Kerajaan Kutai Martapura ditengarai belum berkedudukan sebagai raja, melainkan hanya sebagai pemimpin komunitas atau kepala keluarga. Dengan demikian, Kutai Martapura pada masa Kundunga relatif belum mempunyai sistem pemerintahan yang teratur dan sistematis.

Aswawarman, anak Kundunga, disebut-sebut sebagai orang yang mencetuskan pendirian Kerajaan Kutai Martapura, salah satunya dengan menggagas dinasti keluarga kerajaan sehingga Aswawarman diberi gelar Wangsakerta. Pada masa kepemimpinan Aswawarman ini, Kerajaan Kutai Martapura diduga sudah mulai menggagas tata pemerintahan, salah satu buktinya adalah dengan ditemukannya bentuk tulisan pada masa ini (www.wacananusantara.org).

Sistem pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Kutai Martapura pada masa Aswawarman diperkirakan masih bersifat Indiasentris di mana banyak dipengaruhi oleh para pendeta asli India. Sebagai contoh adalah ketika Aswawarman melaksanakan upacara vratyastoma. Upacara ini adalah ritual penyucian diri yang harus dilakukan Aswawarman agar diterima di kalangan kasta ksatria. Menurut Poesponegoro & Notosusanto (1993), dapat dipastikan bahwa pendeta yang memimpin upacaravratyastoma adalah para brahmana Hindu yang datang atau didatangkan dari India (Poesponegoro & Notosusanto, 1993:35).

Pada era pemerintahan Mulawarman, yakni yang berlangsung antara akhir abad ke-4 hingga awal abad ke-5 M, Kerajaan Kutai Martapura sudah memiliki sistem pemerintahan yang relatif teratur. Hal tersebut salah satunya ditandai dengan sudah adanya penggolongan atau klasifikasi antara keluarga kerajaan dengan rakyat biasa.

Dua golongan teratas, yakni kaum brahmana dan ksatria, terdiri dari orang-orang terpilih, yakni orang-orang yang dekat atau kerabat Maharaja Mulawarman. Kedua kaum ini hidup dalam lingkungan elit, yakni seperti dalam suasana peradaban kerajaan yang berlaku di India. Sementara itu, di luar golongan elit terdapat golongan lain, yakni rakyat biasa yang terdiri dari penduduk setempat (Poesponegoro & Notosusanto, 1993:36).

Perkembangan sistem pemerintahan di lingkungan Kerajaan Kutai Martapura pada masa setelah pemerintahan Mulawarman berakhir belum diketahui secara pasti karena data yang sangat terbatas. Akan tetapi, apabila mengacu pada sistem pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang pada akhirnya mengambil-alih kekuasaan Kerajaan Kutai Martapura, dapat diambil beberapa aspek terpenting yang kemungkinan besar bersifat sama.

Salah satu kesamaan itu adalah mengenai kedudukan raja sebagai sumber dari segala-galanya sebab hanya raja yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Dasar kekuasaan ini berpokok pangkal pada jalan pikiran bahwa raja adalah orang yang dapat menjamin kesejahteraan dan keselamatan rakyat banyak (Soetoen, et.al., 1975:53). Selain itu, dalam ajaran Hindu dikenal konsep Dewa-Raja, yaitu raja sebagai perwakilan atau titisan dewa. Dengan demikian, selain tercatat dalam masalah pemerintahan, nama raja juga tidak sedikit yang tertulis dalam persoalan keagamaan (www.wacananusantara.org).

D. Wilayah Kekuasaan

Dari prasasti yang tertulis pada yupa, dapat diperoleh informasi bahwa Kerajaan Kutai Martapura didirikan di sebuah tempat bernama Muara Kaman yang sekarang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Muara Kaman berlokasi di pertemuan Sungai Mahakam dengan salah satu anak sungainya, yakni Sungai Kedang Rantau (Prihananto, Kompas, 3 November 2004).

Wilayah yang termasuk ke dalam daerah kekuasaan Kerajaan Kutai Martapura pada masa sekarang telah menjadi wilayah dari tiga kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur, yakni Kabupaten Kutai Barat dengan ibukota di Sendawar, Kabupaten Kutai Kartanegara yang berpusat di Tenggarong, dan Kabupaten Kutai Timur dengan Sangatta sebagai ibukota kabupatennya. Hampir seluruh tempat yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kutai Martapura pada akhirnya diambil-alih oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

(Iswara N. Raditya/Ker/018/06-2010)

Category: Sejarah Indonesia | Views: 1000 | Added by: edy | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
ComForm">
avatar