Home » 2014 » February » 11 » Kebenaran dan Pikiran
10:38 AM
Kebenaran dan Pikiran
Kebenaran (Kesejatian) hanya dapat menjelma dalam kesadaran meditasi, bukan dalam kesadaran yang spekulatif, tidak pernah. Pada saat engkau berfikir atau memikirkannya, engkau tersesat. Kebenaran menjelma hanya saat engkau dalam keadaan tanpa pikiran dan pemikiran, ketika tidak ada yang mengendalikan di dalam dirimu. Ketika tidak ada satu pun riak dalam danau kesadaran di dalam diri. Kesejatian itu adalah tanpa wujud, tanpa nama. Semua nama adalah usaha kita untuk berkomunikasi dengan keheningan abadi, tapi semua itu gagal.
 
Truth reflects only in a meditative consciousness, not in a speculative consciousness – never. The moment you think, you go astray. Truth reflects only when you are in a state of no-thought, when nothing stirs within you. When there is not even a ripple in the inner lake of consciousness, then truth reflects in you, and that truth has no image. That truth is formless, nameless. All names are our efforts to communicate with the eternal silence, but they all fail.
 
Para sufi memiliki seratus nama Tuhan, tidak benar-benar seratus, tapi sembilan puluh Sembilan. Saya menyebutnya dengan sembilan puluh sembilan nama Kekosongan. Yang nyata, yang keseratus, adalah kosong. Apa sebenarnya ini, tidak dikatakan, tidak diungkapkan. Ia di biarkan. Sembilan puluh sembilan nama diberikan, kemana yang keseratusnya? Itu lah nama yang sebenarnya- yang mana tidak dapat di ucapkan, yang tidak dapat diungkapkan. Jika diungkapkan ia akan menjadi jelek, kotor. Bagaimana yang paling sejati dapat diungkapkan? Dan sekali diungkapkan, bagaimana ia tetap sejati?
 
Sufis have a hundred names for God – not exactly a hundred, but ninety-nine. I call them the
ninety-nine names of nothingness. The real, the hundredth, is empty. What it is is not said; it is not provoked, it is left. Ninety-nine names are given; where is the hundredth? That is the true name – which cannot be pronounced, which cannot be uttered. To utter it would be a profanity. How can the ultimate be uttered? And once uttered, how can it remain the ultimate?
 
Lao Tzu mengatakan "Saya tidak mengetahui namanya – tidak ada yang tahu – oleh karenanya saya akan memanggilnya Tao”. Ia harus dipanggil sebagai sesuatu, tapi tidak ada nama yang merupakan nama yang sebenarnya. Ketika semua nama telah hilang dari pikiranmu, dan engkau hanya melihat, ada, tidak melakukan apa-apa, engkau memperoleh pandangan sekilas, penembusan pertama oleh yang tidak terbatas ke dalam yang terbatas. Engkau menjadi penuh makna. Penembusan pertama oleh langit ke bumi, dan cangkang benih telah pecah, dan engkau bertumbuh. Dan pertumbuhan itu seperti sesuatu yang seketika terjadi, tidak ada yang engkau lakukan, engkau hanya mengizinkan ia terjadi. Ini adalah hal pertama yang perlu di ingat.
 
Lao Tzu says, ”I don’t know His name – nobody knows – hence I will call Him Tao.” It has to be
called something, but no name is a true name. When all names disappear from your mind and you are there just watching, being, doing nothing, you have the first glimpse, the first penetration of the infinite into the finite. You become pregnant. The first penetration of the sky into the earth, and your seed is broken, and you start growing. And that growth is a kind of happening – nothing that you do, you simply allow it. This is the first thing to be remembered.
 
Dari: The Wisdom of the Sand (ceramah mengenai Sufi), Volume 1 Chapter 7: The Mad King's Idol.
Category: Paham Osho | Views: 697 | Added by: edy | Tags: pikiran, kebenaran, meditasi, osho | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
ComForm">
avatar